Cibinong, rakyatbogor.net – lahan di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor menjadi momok utama timbulnya sejumlah bencana, seperti banjir, longsor dan lainnya. Ironisnya lagi, hal itu tak hanya di Bumi Tegar Beriman, tapi juga berimbas ke Ibukota, DKI Jakarta.
Menyikapi hal ini, Direktur Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP), Rahmatullah meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor sebagai leading sektor yang utama untuk tak lagi melakukan mengkomersilkan lahan di Puncak. Sebab, diakuinya merunut pada data Wahana Lingkungan (Walhi) Jawa Barat, lanjut Rahmatullah, banyaknya bangunan komersil di wilayah Puncak seperti hotel dan villa terlebih yang tidak sesuai aturan, mengancam tata ruang di wilayah wisata tersebut.
Dari data Walhi juga, keberadaan bangunan komersil tersebut tak hanya membuat semrawutnya tata ruang tapi juga menjadi potensi terjadinya bencana alam seperti longsor dan banjir. Rahmat menuturkan, idealnya sekitar 80 persen kawasan Puncak seharusnya merupakan hutan lindung. Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya.
“Kenyataannya sekarang 60 persen kawasan di Puncak merupakan bangunan permanen yang tidak bisa menyerap air,” tegasnya kepada Rakyat Bogor, Selasa (21/12/2021). Dilain pihak, Koordinator Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak, Ernan Rustiadi mencatat pada FebruariMaret 2018 lalu saja terdapat sedikitnya 55 titik rawan longsor di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor.
“Erosi pada hulu, sedimentasi pada hilir mengindikasikan kawasan DAS sudah rusak. Banyak peristiwa longsor yang terjadi di kawasan Puncak karena sudah degradasi dan pembangunan yang sudah tidak lagi sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Daya dukung yang turun berpengaruh rentan menghadapi cuaca ekstrem,” ujar Ernan.
Untuk itu, pihaknya berharap Pemkab Bogor bisa mengendalikan pembangunan di kawasan Puncak lebih serius lagi untuk meminimalisir dampak lingkungan seperti longsor dan banjir. “Kawasan Puncak sebagai hulu DAS Ciliwung dan sungai Ciliwung tidak bisa dipisahkan karena satu kesatuan yang terkait. Sehingga perlu dikelola secafa terpadu melintasi batas administrasi.
Kolaborasi semua pihak dalah syarat keberhasilan rehabilitasi ekologi di kawasan Puncak,” pungkas Ernan. Sementara itu, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat sebanyak 5,7 ribu hektare hutam alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung telah hilang.
Jumlah tersebut tercatat mulai tahun 2000 hingga 2016. Saat ini hutan di DAS Ciliwung sendiri hanya menyimpan 3,4 ribu hektare hutan alam atau hanya 8,9 persen dari total luas DAS Ciliwung. Padahal wilayah DAS harusnya mempunyai tutupan sekitar 30 persen dari total luas. Pengkampanye FWI Anggi Putra Prayoga menilai salah satu penyebab berkurangnya hutan alam di kawasan DAS Ciliwung, karena alih fungsilahan hutan lindung menjadi bangunan.
Akibatnya, kerusakan ekologi DAS Ciliwung menyebabkan terjadinya bencana longsor di wilayah hulu (Puncak). “Itu kalau di wilayah hulu. Kalau di wilayah hilir (Jakarta) bisa terjadi sedimentasi dan bencana banjir setiap musim hujan tiba,” jelas Anggi.
Anggi menambahkan, kawasan Puncak merupakan hulu DAS Ciliwung menjadi satu di antara DAS prioritas Presiden yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pembangunan Jangka Menengah Nasional (PJMN). “DAS Ciliwung masih menyimpan tutupan hutan yang berperan sebagai daerah tangkapan air, sekaligus memanajamen sistem tata kelola air yang menyangga kehiduoan di Ibu Kota. Tapi tutupan hutan DAS Ciliwung kini hanya ada di 9 desa di dua kecamatan yaitu di Cisarua dan Megamendung, Bogor,” tandasnya. (fuz)
-
Pengumuman PSU DPKPP
-
Merasa Telah Tempuh Perizinan, Pemilik Resto Puncak Asri Merasa Diperlakukan Tidak Adil Oleh Pemkab Bogor
-
PWI Kabupaten Bogor Laksanakan Upacara HUT RI ke-79
-
PWI Kota Bogor Sehatkan Wartawan Lewat Program Jumat Sehat