Marak Berbagai Kasus Kekerasan dan Pelecehan, Kabupaten Bogor ‘Zona Merah’ Anak

Komisi Nasional Perlindungan AnakIST: Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait.(foto: fuz/par)

Cibinong, HRB – Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait menyebut Kabupaten Bogor belum layak mendapat predikat Kota Layak Anak (KLA). Sebab, hingga saat ini kasus kekerasan terhadap anak masih terus terjadi.

“Dua tahun lalu, saya sudah bilang. Kabupaten Bogor itu zona merah kekerasan anak. Dari data yang ada di Unit PPA Polres Bogor saja, 25 persen merupakan kasus seksual. Karena itu, saya pikir, Kabupaten Bogor masih terseok-seok dan belum layak menyandang predikat Kota Layak Anak (KLA),” papar Arist saat dikonfirmasi, Kamis (22/9/2022).

Dengan banyaknya kasus ini, Arist menilai belum adanya komitmen serius dari pemerintah daerah dan masyarakat Kabupaten Bogor akan perlindungan terhadap anak.

“Kebijakan-kebijakan Kabupaten bogor itu belum punya perspektif membangun gerakan perlindungan anak, yang saya maksud berbasis keluarga dan komunitas. Jadi artinya tidak berlebihan, kalau saya mengatakan belum beranjak dari zona merah itu,” paparnya.

Karena itu, Arist berharap Pemkab Bogor bisa lebih konsen terhadap perlindungan anak dengan mengedepankan hati.

“Kalau bicara soal aturan apalagi soal kendala dana, negara akan bangkrut hanya untuk mengurusi anak. Urusan anak ini harus dengan hati. Saya lebih respek pada lembaga-lembaga swasta yang mau urus anak. Mereka menjadikan ini sebagai bagian dari bela negara dan tanpa dukungan dana pemerintah,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bogor, Erwin Suriana tak menampik jika anak di Kabupaten Bogor rentan menjadi korban kekerasan, baik seksual maupun bullying.

Ironisnya, banyak kasus kekerasan terhadap anak justru terjadi bukan oleh orang lain, melainkan orang terdekat, terutama orang tua korban.

“Bicara soal faktor penyebab, umumnya terkait ketidakharmonisan rumah tangga, baik ayah atau ibunya. Hal ini juga disebabkan utamanya oleh ekonomi,” papar Erwin.

Menurut Erwin, dalam enam bulan terakhir di tahun 2022 ini saja, sudah terjadi 18 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani KPAD. Angka ini kemungkinan bisa bertambah mengingat, masih banyak korban atau orangtua korban yang tidak melapor.

“Kalau dilihat dari perkembangan yang ada, rata-rata memang tidak melapor karena mungkin malu atau lain sebagainya. Ada pula, di kita kan (Kabupaten Bogor-red) masih kuat dengan budaya dan ketokohan, ada kasus kekerasan di lingkungan pesantren tapi tak melapor karena manut dengan kyainya atau ustadznya,” ungkap Erwin lagi.

Pernyataan Erwin juga dikuatkan dengan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Bogor yang mencatat, kasus kekerasan anak pada 2020 mencapai 114 kasus. Kemudian turun menjadi 100 kasus pada 2021. Sedangkan pada tahun 2022 sebanyak 84 kasus.

Aksi kekerasan anak juga terjadi di Kota Bogor. Terbaru, seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) berusia 15 tahun, jadi korban pelecehan oknum guru berusia 70 Tahun.

Aksi tak terpuji itu sendiri terjadi pada 27 Agustus 2022 lalu, diketahui saat itu korban yang saat ini duduk di bangku kelas satu SMK hendak mengurus administrasi ke sekolah lamanya di SMP yang ada di bilangan Kecamatan Bogor Barat.

Kemudian, saat mengurus kebutuhan administrasi sekolah itulah diduga S menjadi korban tindakan pelecehan yang dilakukan oknum guru H tersebut di depan ruangan guru di lantai dua sekolah.

Baca juga:  Rakyat Tunggu Kinerja Class Actionnya, Soal Sidak, Dewan Jangan 'Omdo'

Informasi dihimpun kejadian ini terjadi usai korban mengurus administrasi cap tiga jari. Dimana saat korban hendak keluar ruangan, ia tiba-tiba digandeng pelaku.

Lalu, sembari mengumbar omongan seolah mengedukasi S tentang seksual, disaat itulah oknum guru tersebut memegang bagian payudara korban.

S sendiri sempat mencoba menghindar, namun oknum guru tersebut malah tersinggung dan berbalik marah kepada korban dan mengklaim jika tindakannya yang dilakukan itu bukan bermaksud untuk melecehkan.

Atas kejadian itu, korban mengalami trauma dan sempat mengurung diri di kamar.

“Jadi sudah hari kelima dari kejadian itu anak saya baru cerita,” kata Ibu korban Y, kepada wartawan.

Menurutnya, seusai kejadian itu anak kedua dari tiga bersaudara itu menjadi lebih pemurung. Merasa ada yang aneh, ibu korban langsung menanyakan kepada S.

Mulanya korban enggan menceritakan kejadian tersebut, namun pada akhirnya mengakui apa yang tengah dialaminya.

“Saya khawatir ada masalah di sekolah SMA-nya, tapi setelah digali dan ditanya-tanya, anak saya mengaku jadi korban pelecehan oleh oknum gurunya di SMP,” ucapnya.

Ibu korban juga mengaku setelah kejadian itu anaknya selalu menangis ketika mengingat kejadian pelecehan yang dialaminya.

Tak terima dengan kejadian yang menimpa anaknya itu, orang tua korban akan menempuh jalur hukum agar pelaku dapat mempertanggung jawabkan perbuatanya.

“Sementara kita sudah meminta pendampingan kuasa hukum. Dalam waktu dekat kami akan melaporkan kejadian ini,” imbuhnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Korban Syaughi mengaku bakal membuat laporan di Kepolisian atas kejadian yang menimpa kliennya ini.

“Dalam waktu dekat kita akan buat laporan,” tukasnya.

Jauh sebelumnya, dari catatan yang dimiliki Rakyat Bogor, Dinas Sosial Kabupaten Bogor pernah merilis jumlah kasus tindak kekerasan anak yang ditangani sampai dengan bulan Juli 2018 lalu berjumlah 44 Kasus.

Sedangkan secara spesifik, perkara kekerasan terhadap anak masuk peringkat tertinggi yang ditangani P2TP2A Kabupaten Bogor.

Sisanya, dari data tahun 2017, P2TP2A Kabupaten Bogor mencatat kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 84, kekerasan terhadap perempuan 3, KDRT 19 dan korban trafficking 5 kasus.

Kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Bogor juga terus menunjukan tren peningkatan.

Data P2TP2A Kabupaten Bogor, kasus kekerasan di tahun 2013 ada 10 kasus, 2014 ada 29 kasus, 2015 ada 44 kasus dan 2016 ada 148 kasus.

Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan 2013 ada 5, 2014 ada 1, 2015 tidak ada sama sekali dan 2016 ada 11. Untuk KDRT 2013 ada 19, 2014 ada 22, 2015 ada 22 dan 2016 ada 36. Sementara untuk korban trafficking, 2013 ada 6, 2014 ada 3, 2015 ada 2 dan 2016 ada 7 kasus.

Sementara itu berdasarkan data dari Bareskrim Mabes Polri, dalam kurun waktu 2005-2009, terdapat 794 kasus trafficking.

Sedangkan di 2012, tercatat 233 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 198 diantaranya kasus trafficking.

Data trafficking ini seperti fenomena gunung es, yang terungkap adalah kasus yang dilaporkan.

Untuk diketahui, jumlah anak di Kabupaten Bogor cukup tinggi mencapai 1.850.609 jiwa atau 32,80%, dari keseluruhan jumlah penduduk sebanyak 5.640.907 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 2.883.278 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.757.629 jiwa. (par/fuz)

 

Tags: