Cisarua, rakyatbogor.net – Puncak. Menyebut kata itu, alam fikir semua orang pasti langsung membayangkan eksotisnya pegunungan yang asri. Ya, tak salah memang.
Namun, Puncak yang satu ini berbeda dengan Puncak-Puncak lain. Puncak yang terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor ini kritis akibat laju pembangunan yang tak tertahankan
Dampaknya bisa dilihat dari ragam bencana yang terjadi. Mulai dari banjir bandang, longsor hingga yang paling parah adalah, menyusutnya ekosistem yang menjadi penyeimbang keasrian alam disana.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, sebagai si empunya Puncak sendiri bukan tanpa daya upaya mempertahankan alam Puncak. Ada banyak kebijakan yang coba diterapkan, mulai dari imbauan, larangan pembangunan dengan tidak mengeluarkan izin hingga payung hukum tentang konservasi Puncak pun sudah diterbitkan, namun bak peribahasa, apa daya tangan tak sampai, semua itu seperti sia-sia.
Tetap saja, kawasan Puncak menjadi buruan para pemilik dana untuk memiliki sebidang tanah disana. Pemandangan yang indah serta udara sejuk, menjadi imaji utama yang dicari kaum berduit ini.
Padahal jika menurut pada fakta, kondisi Puncak saat ini sudah sangat mengenaskan. Tengok data milik Forest Watch Indonesia (FWI) yang mencatat sebanyak 5,7 ribu hektare hutam alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung telah hilang. Jumlah tersebut tercatat mulai tahun 2000 hingga 2016.
“Saat ini hutan di DAS Ciliwung hanya menyimpan 3,4 ribu hektare hutan alam atau hanya 8,9 persen dari total luas DAS Ciliwung. Padahal wilayah DAS harusnya mempunyai tutupan sekitar 30 persen dari total luas,” kata Pengkampanye FWI Anggi Putra Prayoga, dalam kegiatan ‘Ekspose Program Pemulihan Ekosistem Kawasan Puncak Sebagai Hulu DAS Ciliwung’, di Cisarua, Bogor, belum lama ini.
Menurutnya, salah satu penyebab berkurangnya hutan alam di kawasan DAS Ciliwung, karena alih fungsil ahan hutan lindung menjadi bangunan. Akibatnya, kerusakan ekologi DAS Ciliwung menyebabkan terjadinya bencana longsor di wilayah hulu (Puncak).
“Itu kalau di wilayah hulu. Kalau di wilayah hilir (Jakarta) bisa terjadi sedimentasi dan bencana banjir setiap musim hujan tiba,” jelas Anggi.
Anggi menambahkan, kawasan Puncak merupakan hulu DAS Ciliwung menjadi satu di antara DAS prioritas Presiden yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pembangunan Jangka Menengah Nasional (PJMN).
“DAS Ciliwung masih menyimpan tutupan hutan yang berperan sebagai daerah tangkapan air, sekaligus memanajamen sistem tata kelola air yang menyangga kehiduoan di Ibu Kota. Tapi tutupan hutan DAS Ciliwung kini hanya ada di 9 desa di dua kecamatan yaitu di Cisarua dan Megamendung, Bogor,” paparnya.
Senada dengan FWI, Wahana Lingkungan (Walhi) Jawa Barat juga menilai, banyaknya bangunan komersil di wilayah puncak seperti hotel dan villa terlebih yang tidak sesuai aturan, mengancam tata ruang di wilayah wisata tersebut.
Bahkan menurut eks Dirut Walhi Jabar, Dadan Ramdan, keberadaan bangunan komersil tersebut tak hanya membuat semrawutnya tata ruang tapi juga menjadi potensi terjadinya bencana alam seperti longsor dan banjir. “Penertiban bangunan liar kan sempat ada tuh sejak 2015 oleh Satpol PP Kabupaten Bogor. Harusnya jangan berhenti. Harus diaudit bangunan-bangunan itu, terutama yang bersifat komersil,” kata Dadan.
Berdasarkan data pada tahun 2016, kata Dadan, Walhi pernah melakukan penelitian terkait bangunan liar di Puncak. Saat itu, terdapat 340 bangunan komsersil dan 40% di antaranya tidak memiliki izin.
Pembongkaran bangunan terutama villa-villa liar juga sempat digalakkan 2013 dan 2015 lalu dengan menggunakan anggaran Bantuan Provinsi (Banprov) DKI Jakarta. Pada 2013 banprov mencapai Rp2,1 miliar (untuk penertiban) dengan asumsi per bangunan menghabiskan dana Rp10 juta dan kembali dilakukan pada tahun 2015.
Dadan menuturkan, idealnya sekitar 80 persen kawasan Puncak seharusnya merupakan hutan lindung. Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya. “Kenyataannya sekarang 60 persen kawasan di Puncak merupakan bangunan permanen yang tidak bisa menyerap air,” tegasnya.
Dilain pihak, Koordinator Konsorsium Penyelamatan Kawasan PuncakErnan Rustiadi mencatat pada Februari-Maret 2018 terdapar sedikitnya 55 titik rawan longsor di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor.
“Erosi pada hulu, sedimentasi pada hilir mengindikasikan kawasan DAS sudah rusak. Banyak peristiwa longsor yang terjadi di kawasanPuncak karena sudah degradasi dan pembangunan yang sudah tidak lagi sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Daya dukung yang turun berpengaruh rentan menghadapi cuaca ekstrem,” ujar Ernan.
Untuk itu, pihaknya berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor dan lainnga menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di kawasan Puncak agar pembangunan dapat dikendalikan dan meminimalisir dampak lingkungan seperti longsor dan banjir.
“Kawasan Puncak sebagai hulu DAS Ciliwung dan sungai Ciliwung tidak bisa dipisahkan karena satu kesatuan yang terkait. Sehingga perlu dikelola secafa terpadu melintasi batas administrasi. Kolaborasi semua pihak dalah syarat keberhasilan rehabilitasi ekologi di kawasan Puncak,” pungkas Ernan.
Sekedar diketahui, saat ini ada dua kebijakan yang mengatur penataan ruang di kawasan Puncak yang saling bertentangan. Pada tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor 195 Tahun 2003, telah menunjuk wilayah di Kawasan Puncak sebagai hutan produksi dan hutan konservasi. Kemudian di tahun 2008, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 yang menetapkan Kawasan Puncak menjadi kawasan hutan lindung yang memiliki fungsi konservasi tanah dan air.
Dari data yang diperoleh dari Seksi Program Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dan Ciliwung menunjukan indeks penutupan lahan di kawasan Puncak seharusnya 70 persen. Namun, akibat maraknya pembangunan dan lahan ladang pertanian, indeks penutupan lahan hanya tinggal 30 persen.
Kawasan tangkapan hujan seharusnya menjadi lahan vegetasi terutama pohon besar untuk menampung curah air hujan. Hanya saja, karena tingkat kesadaran dan pendidikan warga sekitar masih relatif rendah, banyak lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan air beralih kepemilikan dari warga lokal miskin ke pemilik modal.
Akibatnya, penataannya pun semakin sulit dikendalikan. Sebab, tidak mudah menyamakan persepsi antara pengusaha atau orang berduit itu dengan konservasi lingkungan. Diperkirakan dalam waktu lima hingga sepuluh tahu ke depan, air Sungai Ciliwung tidak akan sampai ke hilir, yakni wilayah Depok hingga Jakarta.Kondisi paling parah yang terjadi adalah krisis air di kawasan hilir. (djm/fuz)
Tags: Daerah Aliran Sungai, DAS Ciliwung, puncak bogor
-
Distributor Kopgim Tandatangan SPJB dengan Kios Pupuk Bersubsidi Bogor
-
Pengumuman PSU DPKPP
-
Merasa Telah Tempuh Perizinan, Pemilik Resto Puncak Asri Merasa Diperlakukan Tidak Adil Oleh Pemkab Bogor
-
PWI Kabupaten Bogor Laksanakan Upacara HUT RI ke-79