Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta : Ada Sumbangsih Besar Umat Islam Dalam Isi Pancasila

Universitas Muhammadiyah JakartaRektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy.(foto: asb/hrb)

CILEUNGSI, HRB – Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy mengemukakan bahwa gambaran dari isi Pancasila dan pembukaan UUD NRI 1945 termasuk di dalamnya naskah proklamasi itu menggambarkan bagaimana sumbangsih umat Islam dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia.

“Jika kita kaji secara kritis dan saksama. Isi rumusan Pancasila dari sila pertama sampai sila ke lima itu menggambarkan sumbangsih luar biasa dari umat Islam”, tutur Ma’mun saat menyampaikan orasi kemerdekaan di Kampus B Perguruan Muhammadiyah Cileungsi, akhir pekan lalu.

Pada kesempatan tersebut, Ma’mun juga menjelaskan perubahan sila pertama Pancasila saat masa awal kemerdekaan. “Rumusan Piagam Jakarta tegas mengatakan bahwa sila pertama adalah ‘Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Perubahan sila pertama terjadi pada persidangan PPKI tanggal 17 dan 18 Agustus 1945,” jelasnya.

Di tanggal 18 Agustus itulah tokoh-tokoh Indonesia yang diwakili sekitar sembilan orang bersepakat untuk mengubah sila pertama yang awalnya berbunyi ‘Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa,” tambah Ma’mun.

Ia juga menegaskan sumbangsih Muhammadiyah untuk Indonesia, khususnya Pancasila. Di antaranya tokoh-tokoh yang memiliki peran dan jasa yang luar biasa seperti Ketua Pimpinan Besar Muhammadiyah pada saat itu Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo.

Cerminan terbesar sumbangsih umat Islam terhadap Indonesia tergambarkan dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Di mana, pada setiap isi sila Pancasila juga merupakan sumbangsih umat Islam. “Sila pertama, konsep-konsep yang ditawarkan oleh M. Yamin, Soekarno, dan Soepomo itu lebih banyak konsepnya hanya sebatas Ketuhanan. Tapi dalam konsep Ketuhanan Yang Maha Esa itu berbeda, di mana Ketuhanan yang dimaksud adalah Yang Maha Esa,” katanya.

“Sila kedua, ada satu bahasa arab yaitu adil, dan adil hanya ada di konsep Islam. Sila ketiga, satu-satunya agama yang menegaskan tentang pentingnya ukhuwah itu adalah Islam, apakah ukhuwah dipahami dalam ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, maupun ukhuwah basyariyah,” lanjut Ma’mun.

Adapun pada sila keempat, katanya lagi, tiga kata dalam bahasa arab hadir di satu kalimat yaitu rakyat (ra’yat), hikmah dipastikan usulan dari tokoh Muhammadiyah pada saat itu, karena sampai saat ini yang menggunakan kata hikmah adalah Muhammadiyah seperti Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, sedangkan di IMM ada Departemen Hikmah, kemudian pada permusyawaratan (syuro) bahwa syuro itu penting dilahirkan maka kata tersebut muncul.

Baca juga:  Kalah Telak dari Madura United, Pelatih Anyar Persikabo 1973 Berikan Alasan

“Kemudian di sila kelima, lagi-lagi kata keadilan dan sosial dimunculkan di situ. Social justice itu penegasan penting atas kehadiran Islam yang mencoba untuk menggabungkan kehidupan yang bersifat vertikal dengan kehidupan yang bersifat horizontal”, tegas Ma’mun.

Pada akhir pidatonya, Ma’mun mengatakan tiga hal penting yang perlu dilakukan agar berkehidupan dengan baik dalam konteks beragama, berbangsa dan bernegara. Tiga hal penting tersebut yaitu selesai dengan Pancasila, menghabiskan cita-cita menghadirkan negara Islam, dan harus melakukan kritik-kritik yang berpedoman kepada Pancasila.

“Pertama, kita selesai dengan Pancasila. Apalagi pada Muktamar 47 tahun 2015 di Makassar, bahwa Muhammadiyah mengatakan Pancasila sebagai darul ahdi wa al-syahadah, itu adalah penegasan bahwa Muhammadiyah sudah selesai dengan Pancasila,” ungkapnya.

“Kedua, kita coba bantah habis keinginan dari sebagian kecil umat yang bercita-cita menghadirkan negara Islam, karena cita-cita tersebut pencerminan dari ketidakmampuan memahami Pancasila dengan baik, karena sesungguhnya dihadirkan dengan baik maka akan menghasilkan negeri Indonesia yang disebut di Al-Qur’an sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun gahfur,” lanjut Ma’mun.

Ketiga, publik harus memulai melakukan kritik-kritik ataupun lainnya, misalnya terhadap penyelenggara negara. Itu harus berpedoman kepada Pancasila. Membenarkan Pancasila sebagai alat melakukan kritisisme terhadap kebijakan yang tidak sesuai dengan Pancasila. Jadi tidak perlu menggunakan ajaran Islam dan sebagainya, karena sesungguhnya kalau kita memahami Islam dan Pancasila dengan baik maka Pancasila itulah sangat Islami dan berlindung.

“Kalau kita mengkritisi berlindung di balik Pancasila insha Allah aman sentosa. Silahkan dihadirkan Pancasila itu, karena Pancasila sudah menjadi kesepakatan kita. Islam mengatur kita dalam konteks beragama, sedangkan Pancasila mengatur kita dalam konteks berbangsa dan bernegara,” tutup Ma’mun. (Asb)

Tags: