UU Anti Korupsi dan UU Anti Pencucian Uang: Solusi Atau Masalah

UU Anti KorupsiRomli Atmasasmita Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

Oleh : Romli Atmasasmita Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

SEMAKIN dekat menjelang Pemilu 2024 dan semakin nyata terjadi “mega korupsi” yang bernilai fantastis melibatkan pejabat setingkat menteri dan pejabat Eselon I di negeri ini. Sejujurnya penegakan hukum dilakukan oleh institusi penegak hukum menjelang Pemilu 2024 tetap saja dianggap “Politisasi Hukum”, hal yang berbeda fundamental dengan “tindak pidana politik”.

Contoh kasus JP (Johnny G Plate) dalam perkara korupsi proyek BTS di Kominfo yang didanai APBN senilai Rp8 triliun. Jika petinggi parpol Nasdem mengatakan bahwa amat mahal nilainya JP harus diborgol tangannya dengan rompi baju warna merah, sebaliknya juga amat fantastis nilai korupsi sebanyak Rp8 triliun yang “dihasilkan” dari proyek BTS Kominfo bagi 260 juta rakyat Indonesia.

Peristiwa yang sama juga pernah terjadi pada KPK dalam penyelidikan kasus Formula E sampai penyelidikan kasus tersebut “jalan di tempat”. Dugaan-dugaan politisasi hukum ini bukan hanya terjadi di era Presiden Joko Widodo tetapi juga di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Belum hilang dari ingatan jika perkara Antasari Azhar, KPK yang menangani dugaan perkara Gubernur dan Deputi Gubernur BI dimana faktor kekuasaan turut berperan secara kasat mata. Hal yang sama juga di AS dalam kasus Donald Trump yang diduga pelaku pelecehan seksual dituntut menjelang pencalonan sebagai Presiden AS untuk kedua kali.

Merujuk semua peristiwa di atas sejarah hukum sejak abad 17 menunjukkan bahwa hukum selalu berkelindan dengan ‘Kekuasaan’. Hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan atau terpisah keduanya. Kelsen menegaskan bahwa hukum adalah produk kekuasaan (negara) sehingga hukum khususnya hukum pidana merupakan alat pemaksa negara agar rakyatnya mentaati/mematuhi hukum termasuk pejabat negara. Bahkan dengan perundang-undangan yang berlaku saat ini, sejak tahun 1971 diperkuat tahun 1999 dengan UU Antikorupsi dan UU Anti TPPU, badan hukum/korporasi selain orang perorangan, termasuk subjek hukum yang dapat dipidana tidak terkecuali.

Pembentukan UU Antikorupsi dan UU Anti TPPU sejatinya bertujuan membersihkan pemerintahan negara dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). UU KKN telah diundangkan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 dan merupakan payung hukum (Umbrella Act) terhadap seluruh peraturan perUUan yang mengatur tentang KKN yang dilakukan oleh penyelenggara negara; dari Presiden/Wakil Presiden, menteri, dirjen, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, camat sampai pimpinan proyek dan pengguna anggaran.

Pemberlakuan kedua UU tersebut tidak menurunkan secara signifikan, baik kuantitas maupun kualitasnya, seperti IPK setiap tahun selalu menurun. Terakhir pada 2023, hanya mencapai ranking 40 jauh dibawah Malaysia dan Singapura. Sampai saat ini perjuangan Indonesia untuk menjadi anggota aktif Financial Action for Task Force Anti Money Laundering yang telah dilaksanakan sejak pembentukan PPATK belum membuahkan hasil. Suatu pertanda bahwa Indonesia belum melaksanakan 48 Rekomendasi FATF secara maksimal sementara tindak pidana pencucian uang menunjukkan kecenderungan meningkat setiap tahun.

Belum juga tuntas perjuangan mencegah dan mengatasi korupsi dan pencucian uang, pemerintah melalui Bappeti telah mengeluarkan izin perdagangan aset kripto fisik kepada 233 perusahaan kripto yang dipastikan mempersulit dan menambah kerumitan pencegahan dan pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Keadaan dilematis yang tengah dihadapi pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dan pencucian uang hasil kejahatan. Di satu sisi pemberlakuan UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang sejak lebih dari 24 tahun yang lalu tetapi di sisi lain dihubungkan dengan perkembangan global sejak akhir abad 19 dengan segala efek samping negatifnya, tidak dapat dihindari, dicegah, atau diberantas secara memadai dan tuntas.

Pencarian faktor penyebab inefisiensi dan inefektivitas usaha pemerintah tersebut dipicu oleh pertama, kesadaran berhukum dari masyarakat pada umumnya, khususnya pelaku usaha masih rendah cenderung apatis dan skeptis terhadap ancaman bahaya yang mengintai kehidupan bangsa dan negara di masa kini dan masa depan. Kedua, sarana dan prasarana teknologi informasi modern belum dimiliki K/L di seluruh Indonesia, dan ketiga, keterbatasan dana APBN untuk membayar biaya yang tinggi sebagai konsekuensi logis dari perjuangan pemerintah terhadap kedua kejahatan tersebut terbukti tidak efisien dan tidak efektif.

Baca juga:  Dugaan Tipikor Pasar Sindang Kasih, Kejati Jabar Tetapkan PJ Bupati Bandung Barat Sebagai Tersangka

Masih terdapat kekeliruan memahami masalah kejahatan yang bersifat sistematis dan berdampak luas dalam masyarakat termasuk di kalangan para ahli terutama ahli hukum, seolah-olah kedua kejahatan yang terjadi adalah urusan hukum semata-mata dan para ahli hukum dan bagi ahli hukum masalah tersebut hanya dipandang sebagai masalah penegakan hukum. Tidak dipahami bahwa sesungguhnya masalah penegakan hukum tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari masalah penegakan moralitas dan etika dalam kelembagaan penegak hukum. Hubungan interelasi antara moralitas dan hukum telah diakui sejak abad 17 di benua Eropa akan tetapi khususnya di Indonesia memang sering diucapkan.

Di dalam Konstitusi UUD 45 yang merupakan landasan konstitusional bernegara. Hal tersebut tidak sekalipun dicantumkan secara eksplisit termasuk di dalam Bab XA UUD 45, kecuali di dalam ketentuan Pasal 28 J UUD 45 untuk menegaskan bahwa nilai moral dan agama sebagai tolok ukur batasan atas hak dan kebebasan asasi manusia Indonesia. Dalam situasi dan kondisi pemerintah dan masyarakat menghadapi kejahatan-kejahatan tersebut, tampak berada dalam keadaan “trial and error” dan juga di dalam Konstitusi UUD 45, tidak ada jaminan dan kewajiban setiap orang untuk mengikuti pendidikan moral dan agama sejak di bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Pendidikan moral dan etika sesungguhnya terjadi sejak pendidikan di dalam keluarga. Indonesia kini menghadapi yang disebut “obesitas regulasi” tanpa kredibilitas dan miskin moralitas pada aparatur hukumnya termasuk hakim dan hakim agung terbukti dari keterlibatan mereka dalam kasus korupsi. Data KPK menunjukkan bahwa pada tahun 2000-2020 sekitar lebih dari seratus oknum APH terlibat korupsi. Peristiwa korupsi Proyek Based Transceiver System (BTS) pada Kominfo merupakan contoh konkret tingkat keseriusan korupsi di Indonesia.

Bagaimana meneguhkan ketahanan moralitas di kalangan birokrasi termasuk pimpinan K/L setingkat menteri termasuk masalah kepemimpinan (leadership) dari setiap pimpinan K/L di bawah seorang Presiden. Dalam pemberantasan KKN, Indonesia termasuk yang terlengkap dari sisi peraturan perundang-undangannya dibandingkan dengan negara tetangga se-ASEAN bahkan Kepala BPR Malaysia ketika membaca UU KPK dengan segala kewenangan yang sangat luas bisa menangkap pejabat setingkat menteri telah memberikan apresiasi bahwa UU semacam ini tidak akan terjadi di negerinya karena jika BPR menangkap dan menahan pejabat setingkat menteri harus seizin Menteri Dalam Negeri.

Di dalam praktik penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan dilanjutkan dengan terhadap tindak pidana pencucian uang bukan perkara mudah karena sejak penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan asal (predicate offense) memerlukan ketelitian dan kecermatan menghitung waktu termasuk masa penahanan sementara dan pengumpulan alat bukti dan keterangan saksi-saksi sampai puluhan saksi jika kualitas tipikor sangat rumit, persidangan perkara korupsi telah ditetapkan MA paling lama enam bulan terhitung sejak sidang pertama di PN Tipikor.

Proses penggeledahan, penelusuran, dan pemblokiran rekening para pelaku tipikor merupakan modal awal yang dapat memudahkan perampasan aset melalui UU Anti Pencucian Uang. Namun sampai saat ini dalam UU TPPU belum diatur memadai proses pembuktian TPPU terutama ketentuan mengenai hukum acara beban pembuktian terbalik (reversal of burden of proof). Data perkara TPPU sampai tahun 2023 tidak lebih dari 50% perkara tindak pidana korupsi sehingga tujuan pengembalian keuangan negara karena korupsi belum maksimal, belum ditambah beban biaya perkara yang telah dikeluarkan negara.

Akhir dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang fakta membuktikan bahwa telah terjadi “besar pasak dari tiang” jika tidak segera diambil langkah hukum terobosan dalam menangani perkara korupsi dan pencucian uang dan dipastikan akan semakin memperluas kesenjangan antara pemasukan uang kepada negara dan anggaran biaya operasional ketiga lembaga penegak hukum yang telah dikeluarkan.

Tags: