Warisan Budaya “Pare Pocong” Masih Terjaga di Malasari

Pare PocongWarisan Budaya "Pare Pocong" Masih Terjaga di Malasari

Nanggung, HRB 

Masyarakat Indonesia mengenal kearifan lokal dalam mengolah hasil panen, salah satunya lumbung padi yang dipersiapkan untuk ketahanan pangan sebuah komunitas atau wilayah. 

Di Jawa Barat dan Banten, lumbung padi pada umumnya disebut leuit. Leuit berfungsi sebagai gudang logistik, dan kemungkinan karena di zaman dahulu penggunaan karung plastik atau goni masih terbatas, maka gabah padi tidak dilepaskan dari tangkainya sejak saat memotong padi di sawah hingga padi dikeringkan dan siap disimpan di leuit.

Cara memperlakukan padi dengan mengikat tangkainya tanpa melepaskan gabah setelah dipanen menggunakan ketam, etem atau ani-ani (alat tradisonal pemotong tangkai padi) dengan ukuran tertentu dalam satu ikatnya disebut satu pocong,  perlakuan istimewa terhadap padi seperti ini sudah terbilang jarang, tetapi kita masih bisa menemukannya di beberapa daerah, diantaranya di salah satu wilayah Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

Disana, kita akan melihat jemuran gabah yang diikat atau biasa masyarakat sekitar menyebut (Pare Pocong). Gabah hasil panen dijemur di pinggir jalan umum atau di ruang terbuka dan digantung di lantaian yang terbuat dari bambu dan tersusun rapih. 

Baca juga:  Pembangunan Daerah Irigasi Berdampak Positif Terhadap Hasil Pertanian

Budaya masyarakat kasepuhan Desa Malasari ini juga  sekilas terlihat sederhana, yang mana hasil panen padi ikat itu akan disimpan dalam bangunan yang eksotik dari kayu. Dengan atap menggunakan ijuk dari pohon aren yang dinamai Leuit Pare atau lumbung padi. 

Menurut Sekertaris Desa (Sekdes) Malasari, Ucu mengatakan, di wilayahnya, Pare Pocong atau ikat padi itu pun memiliki makna dengan artian “Ngahiji Ngajadi Hiji” (Bersatu Menjadi Satu) sesuai dengan tema yang diangkat pada helaran seren taun kasepuhan Malasari di 1 Muharram 1445 Hijriyah “Ngahiji ngajadi hiji, Tradisi Ngajati Diri” beberapa waktu lalu.

Prinsip itu dapat diartikan bersatu nya atau guyub tiga faktor dalam kehidupan pemerintahan dari tingkat bawah sampai tingkat pusat yaitu Kasepuhan (Kebudayaan), pemerintahan (pemimpin) dan ulama.

“Ada tiga faktor yang dapat membentuk kehidupan pemerintahan yang baik. Dari pemerintahan terbawah sampai tertinggi, di mana itu ada Kasepuhan (Kebudayaan), Pemerintahan dan para ulama itu bersatu, ketika semuanya bersatu, guyub tidak akan ada lagi yang namanya perpecahan dan lain sebagainya,” kata Ucu. (Fex)

Tags: